Bertempat di Gedung KH. Yusuf Hasyim Tebuireng Jombang Jawa Timur, Selasa 19 November 2013 hadir sekitar 30 peserta yang terdiri dari calon kyai muda, mahasiswa, mahasiswi, tokoh agama serta sejumlah aktivis mengikuti diskusi publik yang di selenggarakan oleh PKP2 Tebuireng, Gusdurian dan Demos.
Diskusi yang mengangkat tema “Memperkuat Warga Melalui Transaksi Politik dalam Pemilu” berlangsung pada pukul 10.00 hingga 12.00 WIB, dimoderatori oleh Aan Anshori dari Lakpesdam NU Jombang dengan menghadirkan narasumber Inggrid Silitonga Direktur Eksekutif Demos, Roy Murtadlo Direktur PKP2 Tebuireng, serta Moh As’ad Direktur Lembaga Sosial dan Pendidikan Tebuireng. Tema yang didiskusikan merupakan hasil penelitian Demos bersama Puskapol UI pada April – Oktober 2013 tentang praktik transaksi politik pada masa pemilu yang bertujuan untuk menyusun modul pendidikan pemilih untuk kelompok masyarakat yang rentan politik transaksional.
Praktik transaksi politik tidak terhindarkan dalam pemilu, jual beli suara merupakan bentuk transaksi politik yang kerap ditemui di masyarakat. Pilihan “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya” atau yang dilakukan oleh warga dengan memasang spanduk “Ada Uang Ada Suara – Menerima Serangan Fajar” menjadikan politik uang semakin terbuka, dianggap wajar dan lumrah. Sikap warga yang pragmatis diikuti dengan tingginya angka gol-put menunjukan apatisme warga semakin tinggi terhadap politik. Politik yang seyogyanya membawa masyarakat mencapai kehidupan yang lebih baik tidak menjadi tujuan bersama pemerintah dengan warganya. Politik hanya dijadikan cara oleh individu atau kelompok untuk mendapatkan kekuasaan, dan ketika diperolehnya, kemanfaatannya hanya untuk kepentingan segelintir orang (oligarki).
Pilihan mendiskusikan transaksi politik dalam pemilu di lokasi Pondok Pesantren yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari menjadi sangat strategis karena hasil penelitian Demos dan Puskapol UI menemukan ulama, pemimpin kelompok pengajian dan jemaah merupakan subjek atau pelaku yang terlibat dalam transaksi politik. Jawa Timur yang merupakan salah satu wilayah penelitian menemukan transaksi politik berupa pemberian bantuan (uang, barang, program) dan janji fasilitas berupa wisata rohani oleh kandidat kepada pemimpin kelompok pengajian. Membagi – bagikan uang kepada pemilih di suatu wilayah seperti kasus yang ditemukan di Jawa Timur ini merupakan bentuk transaksi politik “jual beli suara” sedangkan “Klientelisme” yang merupakan bentuk lain dari jual beli suara dicirikan kandidat memberikan janji imbalan uang atau fasilitas kepada komunitas jika keduabelah pihak bersepakat untuk memberikan dukungan suara kepada kandidat tersebut.
Lantas apakah praktik transaksi politik tersebut haram? Roy Murtadlo menjelaskan bahwa praktik politik uang yang identik dengan pemberian uang atau suap dalam kultur Jawa sangat memungkinkan dan dianggap sah dalam Islam. Sulit membenturkan antara hukum positif dengan hukum agama. Bagi Islam, uang yang diberikan berasal dari Tuhan, maka tidak penting asal usul uang tersebut apakah dari hasil money loundering atau tindak korupsi. Sulit mengeliminasi suap, tambah Moh As’ad. Sesuatu yang disabdakan Kyai atau Imam merupakan suara Tuhan dan benar, maka jemaah akan mengikuti apa yang difatwakan oleh pemimpinnya. Moh As’ad membenarkan bahwa tokoh agama merupakan tokoh kunci yang memiliki peran penting dalam transaksi politik. Selain menjadi gate keeper, termasuk menjadi distributor dan mobilisator dalam pemilu.
Namun bukan berarti Islam mentolerir maraknya praktik politik uang. Hal ini diungkapkan Aan Anshori, dengan memberikan contoh Konsorsium Rakyat Jombang Berdaulat (KRJB) menggelarsumpah pocong di di Masjid Ulul Albab Tebuireng Jombang dalam rangka menyongsong Pemilukada Jombang 2013. Acara tersebut bertujuan untuk meminta komitmen para calon bupati untuk tidak melakukan politik uang dan korupsi jika terpilih menjadi kepala daerah.Namun dari tiga calon bupati yang diundang, hanyalah Munir Alfanani dari Partai PKB yang memenuhi undangan tersebut. Sementara dua pasangan calon lainnya, yakni Widjono-Sumrambah (Wira) yang diusung PDIP dan Nyono Suharli-Mundjidah (Noah) yang diusung Partai Golkar dan PPP hingga acara berlangsung tak kunjung datang. KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng juga mendorong masyarakat untuk mencegah dan melawan politik uang dalam Pilkada Jombang Juni 2013 yang lalu. Menurutnya meskipun sulit dihapus dan dicegah praktik tersebut, Pilkada Jombang harus bersifat bersih dari segala praktik politik uang, dan lebih mengedepankan nilai kejujuran dan dalam kepemimpinannya nanti amanah.
Inggrid Silitonga menjelaskan bahwa bentuk transaksi politik berupa jual beli suara, klientelisme serta partisan bias (program untuk simpati warga) merupakan bentuk transaksi yang melemahkan warga. Hal ini disebabkan bentuk transaksi politik tersebut menempatkan warga dalam relasi yang tidak setara. Warga seharusnya memiliki kedaulatan untuk menggunakan hak suaranya. Dengan relasi yang setara, warga dapat menyampaikan masalah dan kebutuhan yang dihadapinya kepada kandidat. Warga dapat turut merumuskan kebijakan serta mengawasi kinerja kandidat terpilih. Sudah saatnya meninggalkan politik uang, dan memilih strategi transaksi politik yang sifatnya memperkuat warga. Gunakan kontrak politik untuk bertransaksi dengan kandidat, sebagaimana penelitian ini temukan. Meski bukan hal yang baru, namun kontrak politik merupakan strategi jangka panjang yang dapat mendorong kebijakan yang pro kepentingan publik.
Jaringan Perempuan Jawa Timur dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008 melakukan riset untuk menyusun draft kontrak politik dengan empat pasang Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Jaringan Perempuan Jawa Timur yang terdiri dari KPR Tuban, Aliansi Perempuan Lamongan, LPKP Malang, Pusham Ubaya, dan Suar Kediri ini menyerahkan daftar isu perempuan di Jawa Timur seperti kesehatan, pendidikan, tenaga kerja dan pemberdayaan ekonomi kepada kandidat untuk digunakan merumuskan kebijakan. Kontrak politik tersebut kemudian ditandatangani oleh empat dari lima calon pasangan gubernur dan wakil gubernur. Meski kemudian sulit melakukan komunikasi lanjutan dengan kandidat terpilih untuk merealisasikan isi kontrak politik, namun menurut Jaringan Perempuan Jawa Timur terdapat program pemerintah yang disusun berdasarkan daftar isu perempuan yang mereka ajukan.
Demos dan Puskapol UI menyimpulkan bahwa kontrak politik merupakan strategi transaksi politik yang memperkuat warga karena terbangun ikatan yang panjang antara kandidat pemenang pemilu dengan masyarakat yang dilandaskan program kerja untuk menyelesaikan masalah – masalah masyarakat melalui kebijakan. Ada tiga pra kondisi yang dibutuhkan untuk mendorong transaksi politik memperkuat warga yaitu adanya pengorganisasian masyarakat yang relatif baik, pentingnya dokumentasi dan publikasi serta adanya pengetahuan yang memampukan dan memberikan kendali. Dengan demikian warga secara politik menjadi TAHU, MAMPU, serta KENDALI. Diakhir diskusi, Roy Murtadlo dan Moh As’ad menekankan pentingnya memberikan pendidikan politik bagi calon Kyai Muda sehingga mampu menolak praktik politik uang dan memilih terlibat dalam urusan publik dan hasil penelitian Demos dan Puskapol UI haruslah terus didiskusikan di kelompok masyarakat.
Inggrid Silitonga
Komentar